SKOR.id - Tepat pada 19 April 2023, PSSI akan berusia 93 tahun. Sepanjang perjalanan otoritas sepak bola tertinggi di Tanah Air itu, ada empat prestasi terbaik timnas Indonesia.
Pertama adalah lolos ke babak delapan besar Olimpiade 1956 Australia, kedua merebut perunggu Asian Games 1958 Jepang, dan meraih emas SEA Games 1987 Indonesia serta 1991 Filipina.
Sejak 1930 hingga 2023, tranformasi kompetisi sepak bola Indonesia terbagi tiga era yaitu Perserikatan, Galatama, dan Liga Indonesia.
Dari tiga masa itu, pencapaian terbaik klub Indonesia lewat Kramayudha Tiga Berlian ialah meraih posisi ketiga Asian Club Championship 1985/1986, turnamen cikal bakal Liga Champions Asia.
Sekarang, setelah melewati dua dekade milenium, pencapaian timnas Indonesia level senior masih nihil.
Gelar juara hanya dipersembahkan oleh tim nasional level usia meliputi Piala AFF U-22 2019, Piala AFF U-16 2018, dan Piala AFF U-19 2013. Kiprah klub Tanah Air juga melempem di Asia.
Koordinatoriat PSSI Pers merasa bahwa diskusi refleksi perlu digelar untuk memperingati hari lahir PSSI.
Dari tokoh-tokoh sepak bola Indonesia, dari generasi ke generasi, bisa memetik banyak pelajaran untuk membangun kejayaan sepak bola Indonesia di pentas dunia.
Didukung oleh Nendia Primarasa, diskusi refleksi bertema 'Melihat Perjalanan, Dinamika Kompetisi, Meneladani Perjuangan Para Legenda' dihelat di GBK Arena, Jakarta Pusat pada Senin (17/4/2023) petang.
Tujuh narasumber bertukar pikiran dalam agenda ini. Ada anggota Exco PSSI, Arya Sinulingga serta penggiat sejarah olahraga Indonesia, Dimas Wahyu Indrajaya, plus jurnalis olahraga senior Hardimen Kotto.
Kemudian dari mantan pemain timnas Indonesia, ada Robby Darwis, Rully Nerre, Toyo Haryono, sampai Firman Utina. Mereka pun bercerita pengalaman saat aktif main.
"PSSI sekarang beruntung punya ketua umum kalibernya kuat," kata anggota Exco PSSI, Arya Sinulingga dalam diskusi tersebut.
"Pembinaan dia tahu dengan kaliber Italia, pemain terbaik juga tahu bagaimana negosiasinya sistem dan manajemen paham."
"Mudah mudahan, banyak hal yang bisa dipikirkan dan dikonsepkan. Apalagi, sekarang dia (Erick Thohir) masih punya klub di Inggris, Oxford," tuturnya.
Menurut Arya, Erick Thohir melihat Indonesia masuk G20, itu bisa diartikan memiliki dana.
"Biasanya, naik level ekonomi negara, naik juga yang lain. Maka, itu juga akan berlaku pada standar kualitas internasional olahraga di Indonesia," ucap Arya.
Robby Darwis, yang merupakan pemain lulusan kompetisi perserikatan dan juga eks-bek andalan timnas Indonesia, juga merefleksi perjalanan PSSI dari dahulu.
Dia bercerita awal-awal sebagai pesepak bola, terutama saat PSSI menggabungkan Galatama dan Perserikatan.
"Waktu itu masuk Persib era perserikatan pada 1982 dan 1983, kelas dua SMA. Fanatisme daerahnya luar biasa cukup fantastis," kata Robby Darwis.
"Saya sering juga lihat klub dari Galatama ikut kompetisi yang cukup luar biasa. Waktu itu final di GBK 150 ribu. Saya juga kaget karena waktu itu masih junior."
"Tetapi begitu masuk final dengan kapasitas itu, saya masuk lapangan itu tegang," ucapnya.
Diceritakan Robby, pengalaman yang dirasakan waktu itu dari perserikatan, pemain sudah matang.
"Kala itu, saya rasakan puncaknya di situ dan tidak ada pemain asing, lokal semua. Ketika penggabungan dengan Galatama, lahirnya Liga Indonesia, itu pressure-nya cukup besar," kata Robby.
Rully Nere pun merasakan hal senada. "Pada 1977, saya masih di perserikatan bersama Persipura," tuturnya.
"Kemudian pada 1978, saya hijrah ke Jakarta untuk memperkuat Persija. Waktu itu, ada lima klub lima besar di perserikatan dan pendukungnya sangat fanatik," kata Rully Nerre.
"Ada PSMS, Persija, Persebaya, PSM Makassar, dan Persiraja. Persib belum termasuk waktu itu. Perserikatan zaman itu tinggi sekali (persaingannya)."
Menurut Rully Nerre, dia punya cerita soal kejuaraan nasional yaitu kompetisi PSSI Perserikatan edisi 1978, untuk putaran pertama Persebaya jadi yang terbaik.
"Kemudian masuk putaran kedua, ada juara bersama PSMS. Setelah itu, akhirnya terbentuk Galatama," katanya.
"Jadi Galatama musim pertama saya saat membela Warna Agung dari Jakarta. Kala itu, ada 14 klub pertama (edisi pembuka Galatama)."
"Zaman itu kompetisinya berjalan bagus, tidak ada laga-laga tunda seperti sekarang. Kemudian (kompetisinya) menghasilkan pemain-pemain yang bagus karena banyak yang sebelumnya dari Perserikatan," ujar Rully Nerre.
Hal sama juga dituturkan Firman Utina, yang datang untuk PSSI dari generasi berbeda dan lebih baru dari dua seniornya itu.
Firman Utina memulai karier profesional sejak kelas 2 SMA saat Liga Indonesia masih dibagi dua wilayah, musim 1999-2000.
"Saya masih di Persma Manado. Waktu itu, saya masih muda jadi belum diikat secara profesional, umur juga masih 16 atau 17 tahun," ujar Firman Utina.
"Jadi, gaji itu hanya seperti uang 'permen', buat jajan. Setelah lulus, saya ke Persita pada 2001 dan bertahan empat tahun sebelum ke Arema Malang dua tahun, terus balik ke Persita."
"Setelah itu, saya ke Pelita Jaya, Persija. Saya lalu ke Sriwijaya FC selama dua tahun, setelah itu gabung Persib sampai 2015."
"Kemudian pada 2015 itu, ada gonjang-ganjing Liga Indonesia. Dari itu, saya dapat pengalaman yang membuat menjadi lebih dewasa," katanya memungkasi.