SKOR.id- Ramadan tinggal hitungan jari. Tidak terasa, bulan yang sangat dinantikan oleh umat Muslim di dunia ini akan segera berlalu.
Ramadan tahun 2024 ini meninggalkan kenangan bagi setiap umat Muslim di dunia, tidak terkecuali di Palestina yang sejak pertengahan tahun lalu tengah dilanda peperangan dengan Israel.
Ada satu surat dari seorang bernama Sameer Naeem yang memang warga Palestina. Surat tersebut disampaikan dan dimuat di media massa yang juga media sosial bernama The New Arab.
"Bagaimana ini menjadi Ramadan jika Anda tidak bisa berjalan menuju masjid dan berdiri dalam barisan untuk melaksanakan salat tarawih?" demikian kalimat pertanyaan dari Sameer Naeem yang berusia 56 tahun, pada 14 Maret 2024 lalu, di awal-awal bulan Ramadan ini.
Kalimat dalam surat tersebut cukup menggambarkan apa yang dihadapi publik Palestina sepanjang Ramadan tahun 2024 ini.
Jika ada situasi yang terasa sangat sulit di belahan dunia ini sepanjang Ramadan, salah satunya adalah di Palestina tentunya.
Itu baru masalah ibadah, belum lagi dengan tantangan kehidupan sehari-hari seperti makanan, air, tempat tinggal, atau yang lainnya.
Namun demkian, situasi yang sangat sulit itu tidak membuat sejumlah masyarakat yang berada di Gaza, Palestina, lupa untuk menciptakan bahagia dengan cara mereka sendiri.
Ada turnamen yang memang sudah ada jauh sebelum peperangan ini datang. Nama turnamen itu adalah Ramadan.
Masyarakat Gaza memang setiap tahun menggelar turnamen ini setiap Ramadan datang.
Moat Raja Allah, salah satu bintang terkini yang dikenal selama 6 tahun Turnamen Ramadan ini berjalan.
Pemuda berusia 19 tahun tersebut total telah mengoleksi 12 trofi dan sejumlah penghargaan lainnya karena kemampuannya dalam mengolah bola.
Namun, tahun ini, Moat Raja Allah harus melalui Ramadan di sebuah penampungan, yaitu di sebuah kompleks klub bernama Al-Salah Football Club, yang berada di pusat Gaza Strip.
Dirinya harus berada di sana karena keluarganya memang diungsikan akibat dari agresi yang dilakukan Israel.
Kepada Abubaker Abed yang menulisnya untuk Al Jazeera, Raja Allah yang berasal dari wilayah Nuseirat menyampaikan dengan polosnya bahwa harapannya saat ini hanyalah bisa membeli seekor ayam bagi keluarganya untuk sahur atau berbuka.
"Turnamen Ramadan tidak sama lagi. Rivalitasnya menurun, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya," kata Raja Allah.
"Apalagi, hadiahnya juga dikurangi. Hadiahnya bukan trofi melainkan makanan yang memang berasal dari bantuan untuk para pengungsi," dia menambahkan.
Lebih dari 1.000 orang, termasuk Raja Allah, diungsikan ke Al-Salah FC. Dengan kehadiran begitu banyak pengungsi, situasi atau pemandangan fasitilas di klub tersebut seperti lapangan pun berubah.
Baru lima setengah bulan lalu, lapangan milik Al-Salah FC tersebut digunakan sebagai tempat sesi latihan layaknya sebuah klub.
Namun, perang dengan kehadiran para pengungsi membuat tempat it berubah. Setiap hari yang terlihat adalah berbagai pakaian yang dijemur di pinggir lapangan atau di tiang gawang.
Manajemen Al-Salah FC menyambut semua pengungsi itu dengan antusias dan tangan yang terbuka. Bahkan, dari klub ini pula yang kemudian menghidupkan kembali turnamen selama Ramadan ini.
"Dengan menyelenggarakan turnamen Ramadan ini, kami mencoba menghibur diri sendiri dan mengatakan bahwa masih ada kehidupan di Gaza," kata Nabeel Au-Asr, Direktur Olahraga Al-Salah FC.
"Kami memberikan penghargaan untuk dua tim teratas, tapi ya mungkin hadiahnya memang sangat kecil (sedikit uang) dan juga bingkisan makanan," kata Nabeel Au-Asr lagi.
"Ada rasa menyesal terkait hadiah itu, bahkan mungkin keliru. Namun, tujuan kami ingin memberikan kegembiraan," dia menegaskan.
Harapan itu memang terwujud. Selama Turnamen Ramadan, momen itu memang memberikan keceriaan bagi pemain dan para keluarganya.
Seperti seorang ibu yang gembira dan bangga ketika menyaksikan anaknya berhasil mencetak gol. Anak-anak yang lebih muda berteriak memberikan dukungan dari pinggir lapangan.
Lalu tidak jarang terlihat di antara para pemain merayakan gol seperti gaya idola bintang mereka.
Para remaja peserta turnamen itu bertelanjang kaki, atau beberapa dengan sepatu yang robek. Mereka memamerkan keahlian di lapangan futsal yang dikelilingi blok pemukiman di satu sisi dan ditumbuhi pohon kurma di sisi lain.
Tidak jarang, suara-suara kegembiraan mereka di tengah-tengah pertandingan berlangsung membuat suara drone Israel yang melayang di area tersebut tidak terdengar lagi.
Mereka untuj sejenak melupakan ancaman dan bahaya yang bisa saja datang dari Israel.
Karam Al-Hwajri, yang mengaku penggemar Real Madrid dan masih berusia 12 tahun, menyatakanm senang dengan turnamen Ramadan ini.
“Saya menemukan hiburan di lapangan sepak bola,” katanya setelah menyelesaikan pertandingan.
Karam Al-Hwajri lebih suka bermain sebagai penjaga gawang tetapi tidak keberatan naik membantu serangan.
Dengan nada yang polos pula dia mengatakan bahwa dirinya ingin menikmati saat-saat terakhir masa kecilnya ini. "Karena saya tidak tahu apa yang akan terjadi kepada diri saya," dia menambahkan.
Demikianlah Cerita Ramadan yang mengambil kisah inspiratif dari kegembiraan pengungsi yang tampil dalam sebuah turnamen di Gaza, Palestina.
Mereka menciptakan kegembiraan di tengah situasi yang sangat sulit tapi mereka tidak pernah menyerah.